Latar belakang mengapa deep learning ini muncul menjadi diskursus hangat dalam dunia pendidikan tanah air belakangan ini adalah keinginan agar dampak dari pendidikan kita dapat menghasilkan profil lulusan yang memiliki kekuatan, ketahanan, kecerdasan dan keterampilan untuk menghadapi situasi dunia modern yang diliputi oleh VUCA (Volatility, Uncertainity, Complexity, Ambiguity). Keempat situasi terkini dunia ini mendorong dilakukannya perubahan sekaligus menjadi tantangan baru bagi pendidikan untuk melakukan perbaikan dan reformasi secara mendasar dan sistemis.

Dampak atau outcome pendidikan kita dirasakan masih sebatas pada transfer pengetahuan yang hanya menghasilkan proses penghafalan (memorization) yang menjadikan indikator pengetahuan hanya sebatas pada konfirmasi nilai kelulusan pada seremoni ujian-ujian. Capaian pembelajaran inilah yang masih dianggap sebagai surface learning (belajar di permukaan) yang hanya menekankan pada aspek olah pikir saja belum mencapai pada olah hati, olah rasa dan olah raga secara holistik.
Anti-tesis dari “belajar di permukaan” adalah deep learning yang berorientasi pada outcome yang lebih dalam yaitu pemahaman murid tentang apa yang ia pelajari? apa hubungannya dengan dunia sekarang ini di mana ia tinggal? apa kontribusi saya bagi dunia ini? dan apa yang harus di siapkan untuk menghadapi dunia ini? dengan segala situasi yang menyelimutinya. Melalui pengalaman belajar ini murid akan memiliki kepekaan individual untuk peduli, siap, dan sigap atas masalah dan tantangan baik dihadapi oleh dirinya, lingkungannya, komunitasnya dan negaranya serta global.
Melalui pendekatan deep learning ini proses belajar-mengajar di sekolah akan lebih berfokus kepada siswa dan juga kepada pengalaman belajar. Metode dan strategi belajarpun akan lebih banyak pada kegiatan memahami dunia dan konsep tertentu secara spesifik, pemecahan masalah yang kontekstual, dan menggunakan ilmu pengetahuan dalam konteks dunia nyata atau sebenarnya. Melalui pengalaman belajar ini siswa akan memiliki intelektual, etika, estetika dan inisiatif untuk menggerakkan jasmani dan rohaninya untuk berbuat, melayani, berinovasi dan berkontribusi.

Secara konseptual deep learning juga berfokus pada penyadaran akan arti penting sebagai pembelajar dan dampak yang ia akan berikan jika dapat mengembangkan keterampilan, kecakapan, kecerdasan, dan potensi terbaiknya bagi dunia sebagaimana moto dari pencetus awal konsepsi NPDL (New Pedagogies for Deep Learning) Michael Fullan dari Universitas Toronto, Amerika Serikat yaitu “flourish as a learner in the complex world”. Dengan pendekatan ini murid dapat memanfaatkan era kemudahan informasi untuk selalu “relate” dengan apa yang sedang dipelajari.
Kepekaan adalah cikal bakal munculnya kepedulian, dan kepedulian akan mendorong aksi nyata. Hal inilah yang menjadi pijakan awal deep learning sebagai sebuah re-formulasi pedagogi yang sudah saatnya untuk dilakukan saat ini. Dengan kepekaan yang biasakan dan terus-menerus akan berdampak pada pemahaman yang mendalam bahwa sosok dalam dirinya adalah individu yang berharga dan akan berguna suatu saat nanti. Motivasi ini akan membuat murid cinta terhadap bersekolah (care more about school), cinta terhadap dunia (care more about life), dan cinta terhadap kemanusiaan (care more about humanity).
Kondisi dan situasi dunia global saat ini disadari atau tidak telah banyak memberikan kita gambaran bahwa pergerakan dan perubahan cepat, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas benar terjadi. Pengaruh kehidupan digital menyebabkan pola hidup, persaingan, dinamika, gaya serta kebutuhan kehidupan menjadi berbeda dari era sebelumnya. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yang ditempa melalui pendidikan tidak boleh kalah cepat untuk akselerasi agar memastikan profil lulusan tetap dapat bersaing dan berkarya meski diliputi oleh kondisi dunia yang tidak stabil, tidak pasti dan tentu tidak bisa dikendalikan tersebut.
Tantangan terbesar dari gagasan transformasi pedagogi ini tentu berada pada ujung tombak pelaku pendidikan yaitu guru. Agen pembelajaran yang berada pada posisi eksekutor di lapangan untuk menerapkan deep learning dalam semua mata pelajaran yang diampu. Para guru harus mampu melakukan transformasi diri melalui upgrading atau re-grading kemampuannya sebagai agen pembelajaran untuk dapat menghadirkan pembelajaran yang bermakna, relevan, berdampak, melalui proses pengalaman belajar yang menyenangkan dan berkesadaran penuh.
Penulis adalah seorang akademisi, mengajar di sebuah perguruan tinggi keagamaan negeri, aktif di forum ilmiah baik dalam maupun luar negeri. Selain melaksanakan tugas utama Tri Dharma perguruan tinggi juga tetap menulis untuk menjaga kewarasan, asupan ilmu dan untuk keabadian. Disclaimer: tulisan ini bersifat opini dan pemikiran terbatas dari saya, oleh karena itu semua tanggung jawab dari isi tulisan ada pada penulis.